“Semua yang ada pasti diciptakan
dan semua yang diciptakan mesti memiliki tujuan, karena ada tanpa tujuan
sama saja dengan akal tak berpengetahuan, hampa…”
Apa, Kenapa, Bagaimana?
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), dari namanya saja, orang akan bisa melihat bahwa
HMI ini berstatus sebagai organisasi mahasiswa (vide Pasal 7 AD HMI).
Sebelum kita lebih jauh mengupas tentang organisasi ini, ada baiknya
kita terlebih dahulu mengetahui apa itu mahasiswa? Dengan melihat studi
di Perguruan Tinggi paska melewati masa sekolahnya di SMU/sederajat,
mahasiswa bisa disebut sebagai orang muda yang secara kejiwaan mengalami
fase yang senantiasa berbuat guna menemukan jati dirinya. Orang muda
selalu dicirikan dengan semangat yang mengebu-gebu, selalu berpikir ke
depan dan normatif, apa yang seharusnya, apa yang sepatutnya, atau
sering kita sebut dengan idealisme, selalu memandang sesuatu secara
ideal. Pendapat ini bisa jadi benar, jika membandingkannya dengan orang
tua, yang memang harus berpikir senyatanya, bagaimana menghadapi
tantangan hidup, persoalan pekerjaan, makan, kesejahteraan dst. lebih
suka memandang kebelakang, mengingat-ingat romantisme dulu, hingga
ungkapan."muda idealis, tua pragmatis" barangkali benar.
Mahasiswa,
juga sering diberi predikat atau memainkan peran sebagai inti kekuatan
perubahan, garda terdepan pembaharuan, benteng moral bangsa, sosial
kontrol antara lain karena dua alasan pertama, karena mahasiswa memiliki
ilmu pengetahuan yang lebih dibandingkan kawan-kawannya yang tidak
mengecap pendidikan tinggi. Dimana ciri-cirinya mahasiswa relatif
memiliki otonomi yang tinggi, tidak bergantung pada pihak manapun,
kritis, kelompok yang bebas dari kelompok kepentingan apapun kecuali
kepentingan kebenaran.. Berikutnya karena berpendidikan tinggi maka
secara politis mahasiswa telah mengalami sosialisasi politik yang lebih
tinggi, di kampusnya mereka mengalami akulturasi mengingat heterogenitas
penghuni kampus, sehingga mahasiswa dalam mengemban fungsi generasinya
sebagai kaum muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan
masyarakat hari ini dan masa yang akan datang. Kondisi tersebut
memungkinkan transformasi dalam tataran nilai pada mahasiswa. Kedua,
adalah legitimasi atas fungsi dan peran yang dimainkan sepanjang
panggung sejarah dengan tema besar "dinamika gerakan mahasiswa".
Percaya
tidak percaya, dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, peran kaum
muda khususnya mahasiswa tidak dapat dipandang kecil, inilah mungkin
yang menjadi "semacam beban" bagi gererasi mahasiswa dalam continuum
waktu berikutnya, hingga berbagai macam predikat itu menjadi sebuah
kewajiban. Katakanlah kebangkitan Nasional 1908 dan Sumpah Pemuda 1928,
dimana mahasiswa pada saat itu dipandang sebagai pelopor dan pemersatu
bangsa. kemudian di masa Revolusi Kemerdekaan, mahasiswa dipandang
sebagai pendobrak penjajahan dan pembela kemerdekaan Republik. Sebagai
satu catatan saja, HMI pada masa itu menjadi salah satu—kalau tidak etis
mengatakan, satu-satunya—inisiator pembentukan Perhimpunan
Persyarikatan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan turut berjuang senjata pula
dalam corps/compy mahasiswa, pada masa paska kemerdekaan identitas dan
peran politik mahasiswa semakin diperkuat oleh keberhasilan
protes-protes mahasiswa tahun 1966 yang tergabung dalam KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia) yang berhasil dengan sukses menumbangkan Orde
Lama, dimana sekali lagi HMI menjadi salah satu inisiatornya.
Namun
dalam perjalanannya, dinamika gerakan mahasiswa menghadapi persoalan
internal paska ’66 dikarenakan, mahasiswa adalah termasuk elemen
pembentuk Orde Baru, selain ABRI (sekarang TNI) dan teknokrat. Tampak
terjadi kebuntuan, apa alternatif bangunan gerakan yang ditawarkan,
tatkala gerakan ’66 telah menjadi mitos? Peran apa yang ingin dimainkan
dalam system politik Orba? Bagaimana seharusnya tugas dan masa depan
eksponen ’66? Pertanyaan-pertanyaan itu memang akan terlihat sangat
susah sebab mahasiswa adalah termasuk dalam salah satu grand design elit
yang menang.
Baru pada awal
‘70-an mahasiswa menemukan perannya yang sesuai dengan predikat
intelektual, yakni sebagai kekuatan moral (moral force). Artinya,
mahasiswa bukan sebagai kelompok elit politik yang berusaha mendapatkan
kekuasaan, melainkan sebagai kekuatan moral yang secara aktif ikut
berperan dalam mencapai cita-cita negara. Tugas utama dalam konsep ini
adalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial politik yang tidak
benar. Dengan demikian mahasiswa tidak cuma keluar dari aliansi
segitiga, tetapi juga mau tidak mau harus berhadapan dengan rezim Orde
Baru yang terdiri atas militer dan teknokrat (cikal bakal, Golkar).
Dalam menghadapi kritik tersebut, rezim bisa bertindak akomodatif bisa
pula bersikap keras. Peristiwa Malari 1974 (Malapetaka 15 Januari 1974)
secara nyata menunjukkan kalau rezim tidak segan-segan bertindak keras
terhadap mahasiswa dimana pemimpin-pemimpin mahasiswa dijebloskan dalam
penjara dan organisasinya dibubarkan.
Tahun
berikutnya, kita bisa mencatat naik turunnya dinamika itu katakanlah
tahun 1978 yang menunjukkan bahwa kekuatan Negara Orba semakin dominan
dan sebaliknya kekuatan masyarakat melemah, protes menolak Soeharto
tidak berarti apa-apa, malah sebaliknya, negara semakin menjadi-jadi
dengan mengeluarkan paket kebijakan NKK/BKK, Daoed Joesoef, Wawasan
Almamater, Nugroho Notosusanto yang kesemuany berupaya mematikan
aktifitas politik mahasiswa dan menjadikan mahasiswa hanya sebagai
manusia penganalisa (man of analisys) dan pekerja otak (knowledge
worker) yang dipersiapkan untuk memasuki teknostruktur.
Ketatnya
kebijakan itu otomatis, menjadikan kampus di tahun 80-an adem ayem,
mahasiswa banyak melarikan aktifitas politiknya pada diskusi dan
kontemplasi di luar kampus. Yang kemudian mempolarisasikan gerakan
mahasiswa pada dua bentuk yakni, kelompok studi dan LSM mahasiswa. Dua
bentuk ini tidak pernah ketemu dalam prakteknya, satu menganggap yang
lain hanya beronani wacana dan satu menganggap yang lain pragmatis,
tanpa menyadari bahwa aksi akan semakin kuat jika dibarengi refleksi,
dan diskusi akan sangat praksis bila disertai aksi, sebagaimana Lenin
bilang, "mustahil terjadi revolusi tanpa teori revolusi".
Setelah
mendapat kritik keras akan bentuk gerakan yang sama-sama ekslusif itu,
mahasiswa, berkeyakinan untuk kembali ke kampus, karena memang disanalah
basis gerakan itu ada. ’87 sampai akhir ’89, protes kembali menyeruak
ke permukaan dengan isu yang beragam sesuai dengan perubahan politik
yang ada saaat itu. Dapat dicatat antara lain isu-isu itu mengangkat;:
pertama, isu tentang masalah intern kampus seperti penolakan
dekan/rektor, kenaikan SPP, mutu pendidikan dll (1987); kedua, isu
tentang depolitisasi kampus seperti pelaksanaan NKK/BKK, kebebasan
mimbar, kebebasan akademik, otonomi kampus (1988); ketiga, isu lokal
yang berupa ekses pembangunan di daerah atau penyalahgunaan wewenang
oleh pejabat di daerah seperti kasus tanah Badega, Cimacan, Kacapiring,
Kedung Ombo dan penggalian pasir di Mojokerto (1989); keempat, isu
nasional yang bersifat membela atau memperjuangkan kepentingan rakyat
banyak seperti kenaikan tarif listrik dan peredaran kupon KSOB/TSSB,
kelima, isu yang bersifat merespon terhadap tindak kekerasan aparat
pemerintah, seperti anti kekerasan.
1990
menjadi pertanda berakhirnya masa NKK/BKK, dengan keluarnya kebijakan
Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), namun kampus terpolarisasi
antara yang menerima dan menolak, yang menolak berpandangan SMPT, tidak
populis, SMPT dijadikan ajang permainan elit mahasiswa, SMPT dianggap
tidak lebih sebagai upaya kooptasi birokrat kampus dan perpanjangan
NKK/BKK yang berubah bentuk. Sedang yang menerima berpandangan adanya
celah yang dapat digunakan mahasiswa yakni petunjuk teknis pelaksanaan
keputusan ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Dengan modal
ini, aturan main SMPT ditentukan oleh institusi perguruan tinggi
masing-masing. Tetapi yang jelas keberadaan SMPT, tidak lebih hanya
memberikan prestise, "kesejahtera-mudahan" pengurus, dan "kekuasaan"
eksistensi kelembagaan.
Sampai
akhirnya, situasi politik dan ekonomi yang tidak menentu di 1997 dapat
menyatukan kembali gerakan mahasiswa, dengan bungkus reformasi, 32 tahun
rezim Soeharto dapat dilengserkan. ‘98, dinamika gerakan mahasiswa
mencapai titik gemilang berikutnya. Seperti sebuah rangkaian episode
yang teratur, mahasiswa paska ’98 dipaksa keras untuk menjaga
berjalannya proses reformasi. Sebagaimana air laut, dinamika gerakan
mahasiswa mengalami pasang surut sampai hari ini…
HMI, Hakekat dan Maknanya
Berikutnya
yang terlihat dari kata HMI adalah "I"nya, yakni Islam. Dalam Anggaran
Dasar Pasal 3 disebutkan bahwa "HMI berasaskan Islam", bahkan jauh
sebelum itu ide dasar kelahiran HMI yang melihat kondisi umat Islam
Indonesia yang terpolarisasi dalam beberapa kelompok maka menurut
pemrakarsa pendiri, ayahanda, Lafran Pane, kita harus melakukan
"pembaharuan ke-Islaman". Maka untuk melakukan gerakan pembaharuan
mutlak dibutuhkan alat perjuangan yang berupa organisasi, karena gerakan
tidak bisa dilakukan sambil lalu melainkan harus dengan suatu usaha
yang teratur, terencana dan sistematis.
Selain
itu salah satu Latar Belakang yang sangat dominan dalam lahirnyapun
adalah persoalan ke-Islaman, antara lain: (1). menampung aspirasi
mahasiswa Islam akan kebutuhan, pemahaman, penghayatan keagamaan; (2).
Tenggelamnya ruh dan semangat Islam dalam mahzabisme, sufisme dan
tertutupnya pintu ijtihad. Namun disamping itu bangkitnya Islam yang
dimulai dari dunia arab berupa gerakan reformasi dan modernisasi dalam
tata kehidupan keagamaan umat Islam dan resonansinya mengilhami dan
mendorong umat Islam Indonesia untuk bangkit, kebangkitan terlihat dari
munculnya Serikat Dagang Islam, Muhammadiyah, Al-Jamiatul Wasliyah,
Persatuan Umat Islam, Persatuan Islam dan Masyumi; (3). Terjadinya
krisis keseimbangan dikalangan mahasiswa akibat perguruan tinggi yang
tidak mengintegrasikan antara disiplin Ilmu dan Agama.
Sesungguhnya
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, menurunkan Islam sebagai agama yang haq, dan
sempurna untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai dengan
fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan
diri semata-mata kehadirat-Nya. Kehidupan yang sesuai dengan fitrah
manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang, terpadu antara jasmani
dan ruhani, individu dan masyarakat, iman, ilmu dan amal dalam mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan ukhrowi (lihat, Nilai-nilai Dasar
Perjuangan HMI).
Sehingga dengan
begitu ke-Islaman adalah sebuah komitmen (ikatan jiwa) bagi HMI secara
moral dan kelembagaan. Maka Islam bagi HMI adalah dasar kelahiran,
sumber nilai, motivasi, dan inspirasi. Karena Islam adalah ajaran yang
fitrah, maka pada dasarnya tujuan Islam adalah juga merupakan tujuan dan
usaha HMI
Sebagaimana tadi
dikatakan diatas, dimana mahasiswa yang berperan sebagai moral force
yang senantiasa menjalankan fungsi social control. maka mahasiswa harus
senantiasa merupakan kelompok yang bebas dari kelompok apapun, kecuali
kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan kebahagiaan
masyarakat hari ini dan kedepan. Untuk itu sebagai HMI yang berstatus
sebagai organisasi mahasiswa, sifat mahasiswa harus dijiwai dan menjiwai
HMI, dengan kata lain HMI harus menjiwai dan dijiwai sikap independen.
Sifat
independensi HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter
dan kepribadian kader HMI. Implementasinya harus terwujud dalam bentuk
pola pikir pola sikap, dan pola laku setiap kader HMI baik dalam
dinamikanya sebagai kader HMI—yang kemudian disebut sebagai Independensi
Etis HMI—maupun dalam melaksanakan hakekat dan mission HMI dalam kiprah
hidup berorganisasi, berbangsa dan bernegara, kemudian disebut sebagai
Independensi Organisatoris HMI.
Independensi
etis adalah sifat independen secara etis yang pada hakekatnya merupakan
sifat yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat
keinginan manusia suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran
(hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan fitrahnya akan
membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa
memancarkan keinginan pada kebaikan, kesuciaan dan kebenaran pada Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi
setiap kader HMI berarti pengaktualisasian dinamika berpikir, bersikap,
dan berprilaku baik hablumminallah maupun dalam hablumminannas hanya
tunduk dan patuh pada kebenaran.
Sedang
independensi organisatoris adalah watak independen HMI yang
teraktualisasi secara organisasi di dalam kiprah dinamika HMI baik dalam
kehidupan interen organisasi maupun dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Independensi organisatoris diartikan bahwa
dalam keutuhan kehidupan nasional, HMI secara organisatoris senantiasa
melakukan partisipasi aktif, korektif, dan konstitusional agar
perjuangan bangsa dan segala usaha pembangunan demi mencapai cita-cita
(masyarakat adil dan makmur tanpa tindasan, tanpa hisapan) semakin hari
semakin terwujud dengan tetap menjunjung tinggi, tunduk dan komit pada
prinsip-prinsip kebenaran dan obyektifitas. Dalam melaksanakan dinamika
organisasi HMI secara organisatoris tidak pernah terikat jiwa pada
kepentingan pihak manapun atau kelompok atau golongan manapun kecuali
tunduk dan terikat pada kepentingan kebenaran, obyektifitas, kejujuran,
dan keadilan.
Dalam perjalanannya, Rumusan Tujuan HMI mengalami beberapa kali perubahan, yang dapat di bagi sebagai berikut:
Hasil
Rapat 5 Februari 1947 oleh para pendiri, yaitu: (1). Mempertahankan
Negara Republik Indonesia dan Mempertinggi Derajat Rakyat Indonesia; dan
(2). Menegakkan dan Mengembangkan Agama Islam. Lahir pada masa itu
jelas menunjukkan HMI adalah anak kandung revolusi sekaligus anak
kandung umat Islam Indonesia yang resah atas gelagat sejarah. Dengan
pertimbangan bahwa Islam tidak akan berkembang, bila Indonesia berlum
lagi merdeka. Seperti diketahui rentang waktu 1945 s/d 1949, Belanda
masih melakukan Agresi Militer, hingga mempertahankan kemerdekaan
republik menjadi suatu prioritas.
Hasil
Ketetapan Kongres I HMI di Yogyakarta, 30 November 1947, yang tertuang
dalam Pasal 4 AD, membalik rumusan menjadi: (1). Menegakkan dan
Mengembangkan Agama Islam; dan (2). Mempertinggi Derajat Rakyat dan
Negara Republik Indonesia. Walau baru 9 bulan, ternyata HMI lebih
memilih menjadi Anak Umat daripada Anak Bangsa.
Hasil
Ketetapan Kongres IV HMI di Bandung, yang disahkan 4 Oktober 1955, yang
tertuang dalam Pasal 4 AD, dengan pertimbangan akan kurang tepat jika
memposisikan HMI sebagai organisasi massa apalagi kekuatan politik
(praktis), sehingga disepakati memfungsikan HMI sebagai organisasi
kader. Dengan demikian rumusan tujuan menjadi "Ikut mengusahakan
terbentuknya manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan
Islam".
Namun dalam perjalanan HMI
selanjutnya terasa ada yang kurang dari rumusan tujuan tersebut yakni
fungsi lebih lanjut dari "manusia akademis, pencipta dan pengabdi yang
bernafaskan Islam" itu serta di bumi apa insan cita itu hidup dan
bergerak. Karena itu pada Kongres X di Palembang, dalam Ketetapannya
yang disahkan 10 Oktober 1971 melengkapi rumusan tujuan tersebut sambil
memperbaiki redaksinya sehingga berbunyi "Terbinanya insan akademis,
pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas
terwujudnya masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah Subhanahu Wa
Ta’ala". Dan terus dikukuhkan dan disahkan di Kongres-kongres
berikutnya, insyaAllah. Dalam rumusan tujuan tersebut, maka HMI pada
hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam artian kuantitatif,
sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga pengabdian dan
pengembangan idea, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan
membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara
perjuangan yang benar dan efektif. Dari rumusan itu pula dapat dibagi
menjadi dua, yakni Insan Cita dan Masyarakat Cita.
Insan
Cita HMI adalah merupakan dunia cita, ideal yang ingin diwujudkan oleh
HMI dalam pribadi seseorang manusia beriman dan berilmu pengetahuan
serta mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Dalam Tafsir Tujuan
HMI, insan cita memiliki beberapa 17 kualitas pribadi, yang pada
pokoknya merupakan gambaran "man of future", insan pelopor yaitu insane
yang berpikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka, terampil
atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan
tahu bagaimana mencari ilmu perjuangan untuk secara operatijf bekerja
sesuai dengan yang dicita-citakan. Ideal tipe dari hasil perkaderan HMI
adalah "man of inovator" (duta-duta pembaharu). Penyuara "idea of
progress". Insane yang berkepribadian imbang yang berkepribadian imbang
dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur, tidak takabur dan bertaqwa
kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman, berilmu, dan
mampu beramal saleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).
Masyarakat
Adil dan Makmur yang diridhoi Allah SWT. Adalah gambaran sederhana HMI
tentang tatanan masyarakat yang dimimpikan untuk diwujudkannya,
dicita-citakannya, masyarakat yang dalam bahasa agama disebut sebagai
baldatun toyibbatun wa robbun ghafur yang merupakan fungsi dari Insan
Cita yang akan dikader oleh HMI. Masyarakat cita yang ingin diwujudkan
HMI itu juga senada dengan apa yang ingin menjadi cita-cita kemerdekaan
oleh Bung-bung Besar pendiri Republik ini, yakni masyarakat yang bebas
dari bermacam bentuk belenggu penindasan, masyarakat yang berdaulat,
masyarakat yang berdaya, mampu dan mandiri serta dapat menentukan
hidupnya sendiri, masyarakat yang menjadi cita-cita kemerdekaan
sebagaimana tujuan dari kemerdekaan bukanlah kemerdekaan itu sendiri,
dimana bila merujuk pada bahasa preambule konstitusi kita, Pembukaan UUD
1945 yaitu perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia masih sampai
sebatas mengantarkan rakyat pada "pintu gerbang" satu tatanan masyarakat
"Adil dan Makmur" untuk itu syarat mutlaknya adalah penjajahan diatas
dunia harus dihapuskan, Indonesia bisa berkehidupan kebangsaan yang
bebas dst..dst... dengan begitu jelas bahwa masyarakat cita ini berada
di dalam Republik Indonesia, dan tujuan HMI hanya dapat direalisasikan
oleh mereka yang disebut "kader" dan itu tidaklah berhenti pada masa
keanggotaan seorang mahasiswa.
Fungsi dan Peran.
Dalam
Anggaran Dasar, Pasal 8 dikatakan bahwa "HMI berfungsi sebagai
organisasi kader". Dalam pedoman perkaderan dikatakan bahwa, Kader
adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus menerus dan akan
menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar. Hal ini
dijelaskan dalam ciri-ciri komulatif seorang kader HMI, yaitu: Pertama,
seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal
aturan-aturan main organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan
selera pribadi. Dari segi nilai, aturan itu adalah NDP, sedang dari segi
operationalisasi organisasi adalah AD/ART HMI, pedoman perkaderan, dan
pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. Kedua, seorang kader
memiliki komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat
musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan
melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot yang dan
kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga
kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan
kaderisasi adalah pada aspek kualitas. Keempat, seorang kader memiliki
visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial
lingkungannya dan mampu melakukan social engineering.
Sedang
dalam Pasal 9 Anggaran dasar disebutkan "HMI berperan sebagai
organisasi perjuangan". Sebagaimana di atas, baik secara organisatoris
maupun etis adalah kewajiban bagi kader HMI untuk komit terhadap Islam
dan HMI adalah alatnya, alat perjuangan untuk mentransformasikan
nilai-nilai ke-Islaman yang membebaskan (liberation force), dan memiliki
keberpihakan yang jelas terhadap kaum miskin (dhu’afa) dan kaum
tertindas (mustradzafin). Perubahan bagi HMI merupakan keharusan, demi
tercapainya idealisme ke-Islaman, maka HMI bertekad menjadikan Islam
sebagaiu doktrin yang mengarahkan pada peradaban secara integralistik,
transendental, humanis, dan inklusif. Dengan demikian Kader-kader HMI
harus berani menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilanserta
prinsip-prinsip demokrasi tanpa melihat perbedaan keyakinan dan
mendorong terciptanya penghargaan Islam sebagai sumber kebenaran yang
paling hakiki.
Jelaslah kiranya
bahwa dalam rumusan tujuan HMI yang tadi kita katakan terbagi dua yakni
"insan cita" dan "masyarakat cita" secara eksplisit berbicara tentang
fungsi perkaderan dan peran perjuangan. Dan tujuan HMI tidak akan pernah
tercapai bila dalam prosesnya tidak sinambung antara keduanya. Fungsi
dan peran adalah dua sisi mata koin (two side of coin) tujuan. Bahwa
mustahil ada perubahan ke arah yang benar, kalau kesalahan berpikir
masih menjebak benak kita, kata Kang Jalal, maka akan muspro berbicara
sosial jika masalah personal masih saja menggerogoti kita. Dalam bahasa
kita sehari hari, internalisasi dahulu baru ekternalisasi atau
obyektifikasi, pengabdian mengharap ridho-Nya.
Nah, Akhirnya…
Tujuan,
jelas diperlukan oleh suatu organisasi sehingga setiap usahanya yang
dilakukannya dapat dilaksanakan secara terencana, teratur, terarah dan
sistematis. Bahwa tujuan suatu organisasi dipengaruhi oleh motivasi
dasar pembentukannya, status, sifat, fungsi dan perannya secara integral
dalam totalitas dimana ia berada.
Islam
bagi HMI adalah sebagai sumber nilai, motivasi, inspirasi. Keyakinan
akan kebenaran Islam menjadikan HMI secara sadar memilih Islam sebagai
asasnya (vide Pasal 3 AD). Oleh karenanya Islam bagi HMI merupakan
pijakannya dalam menetapkan tujuan. Status HMI sebagai organisasi
mahasiswa (vide Pasal 7 AD) memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi.
Spesialisasi inilah yang disebut dengan fungsi HMI yakni sebagai
organisasi kader (vide Pasal 8 AD), karena mahasiswa adalah kelompok
elit dalam totalitas generasi muda yang harus mempersiapkan diri dalam
menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa dan generasi yang akan
datang. Maka fungsi kaderisasi mahasiswa merupakan fungsi yang paling
pokok. Sebagai kelompok elit, mahasiswa memiliki tanggung jawab yang
besar, karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis, mahasiswa
kemudian berperan sebagai moral force yang senantiasa melaksanakan
fungsi social control. Untuk itu, mahasiswa harus bersikap independen
dan hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan serta obyektifitas. HMI
yang melakukan fungsi kaderisasi mahasiswa pun harus menjiwai dan
dijiwai sifat independen (vide Pasal 6 AD). Fungsi kaderisasi dalam
membentuk apa yang disebut HMI sebagai insan cita (insan kamil ala HMI)
tidak lain adalah upaya untuk mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan
fitrahnya, yakni kehidupan yang seimbang dan terpadu antara jasmani dan
ruhani, akal dan kalbu, individu dan masyarakat, iman dan ilmu, demi
mencapai kebahagiaan di dunia dan ukhrowi. Demi mencapai kehidupan yang
sesuai dengan fitrahnya itu, maka dibutuhkan sebuah kerja kemanusiaan
(amal shaleh), yang tertuang dalam peran HMI sebagai organisasi
perjuangan (vide Pasal 9 AD), yakni peran yang diemban dalam melakukan
internalisasi, eksternalisasi maupun obyektifikasi nilai-nilai
ke-Islaman. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana dengan benar dan
sempurna apabila dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahuan.
Karena inilah hakekat tujuan HMI tidak lain adalah pembentukan manusia
yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas kerja kemanusiaan
(amal shaleh). Pengabdian dalam bentuk kerja kemanusiaan inilah hakekat
tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan, manusia
mendapatkan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar